Di satu desa kecil di pedalaman Cina, hiduplah seorang petani miskin bersama anak laki-laki satu-satunya yang berusia 15 tahun. Mereka hanya memiliki sebuah gubuk sederhana dan seekor kuda tua yang mereka gunakan untuk mengangkut rumput dan kayu, satu-satunya harta yang mereka miliki. Kehidupan mereka keras, tetapi mereka saling mendukung dalam setiap kesulitan.

Suatu hari, kuda mereka lepas dari kandang dan berlari menjauh ke luar desa. Petani dan anaknya dengan panik mencari kuda tersebut di sekitar desa, namun semua usaha mereka sia-sia. Ketika berita kehilangan kuda mereka tersebar, para tetangga datang dan berkomentar, "Aduh, kasihan kalian. Sudah miskin, kudanya hilang. Sungguh sial nasib kalian." Mendengar komentar itu, petani dan anaknya hanya terdiam, tidak ingin memperpanjang masalah dengan membalas ucapan tersebut.

Beberapa hari kemudian, keajaiban terjadi. Kuda mereka kembali dan membawa serta lima ekor kuda liar. Petani dan anaknya terkejut melihat kuda-kuda baru itu masuk ke dalam kandang. Melihat situasi ini, tetangga mereka berteriak penuh gembira, "Wah, kalian sangat beruntung! Kini kalian memiliki enam ekor kuda. Pasti akan sangat membantu pekerjaan kalian." Namun, petani dan anaknya tetap diam, tidak menganggapnya sebagai keberuntungan yang pasti.

Dengan semangat baru, putra petani berusaha menjinakkan kuda-kuda liar agar dapat digunakan untuk bekerja. Ia menghabiskan waktu berhari-hari berusaha memasang tali kekang dan pelana. Namun, satu kuda liar yang paling garang menolak untuk dijinakkan. Dalam sebuah insiden yang tidak terduga, kuda itu mengamuk dan putra petani terjatuh, mengalami patah kaki.

Kabar tentang kecelakaan ini cepat menyebar di desa. Para tetangga kembali mengunjungi rumah mereka dan berkata, "Aduh, sungguh malang nasibmu. Sial sekali kamu, kakimu patah. Kamu tidak bisa berjalan normal." Sekali lagi, putra petani hanya terdiam, tidak mau terpengaruh oleh ucapan mereka.

Seminggu kemudian, sebuah berita mengejutkan datang. Utusan dari raja muncul dengan perintah bahwa semua anak laki-laki yang sehat diwajibkan pergi ke ibu kota untuk menjalani wajib militer. Semua anak laki-laki di desa, tanpa kecuali, harus mengikuti perintah itu, kecuali putra petani yang kakinya patah. 

Para tetangga pun datang lagi, kali ini dengan nada yang berbeda, "Aduh, sungguh beruntung ya kamu. Gara-gara patah kaki, kamu tidak perlu ikut menjadi tentara." Petani dan putranya masih tetap diam, menyadari bahwa mereka tidak bisa mengendalikan bagaimana orang lain memandang situasi mereka.

Moral dari cerita ini menunjukkan bahwa untung atau buntung sangat bergantung pada perspektif. Kadang-kadang, apa yang kita anggap sebagai ketidakberuntungan bisa jadi adalah sebuah berkah tersembunyi. Dalam hidup ini, yang bisa kita lakukan adalah pasrah dan bersyukur atas segala hal yang kita alami, karena kita tidak pernah tahu bagaimana jalan cerita kita akan berlanjut.